Toko Kelontong, yang sejak 2025 dikenal sebagai "Indonesia Gelap," adalah ruang antar-dimensi yang hanya dapat diakses melalui The Broken.
Ruang ini hanya terdiri dari satu bangunan: sebuah toko kelontong dengan merek dagang yang berbeda bagi setiap individu. Di sekelilingnya terdapat platform parkiran berlantai paving blok, serupa dengan yang ditemukan di dunia asli. Garis-garis parkir menandai tempat kendaraan, meskipun tidak pernah ada kendaraan yang terlihat. Di luar area parkir, hanya ada kekosongan tanpa batas yang dikenal sebagai The Void, menyebabkan ruang ini selalu berada dalam kondisi malam hari. Pengunjung harus berhati-hati, karena terjatuh ke dalamnya dianggap mustahil untuk kembali. Tetaplah di dalam toko dalam kondisi apa pun, karena satu-satunya jalan keluar ketika sudah jatuh adalah pembunuhan diri.
Pengunjung hanya dapat memasuki toko melalui pintu depan. Pintu belakang, yang seharusnya digunakan oleh karyawan, tidak dapat ditemukan—sebagai gantinya, dinding beton berdiri di tempatnya. Area kasir yang biasanya ada kini kosong, digantikan oleh deretan pajangan rokok yang mendominasi sebagian besar interior. Selain itu, produk yang tersedia tidak berbeda dari barang-barang yang umum dijumpai di toko kelontong biasa. Kemasan dan tampilan tetap seperti biasanya, dan setelah diperiksa serta dicicipi, tidak ada perbedaan dalam rasa maupun tekstur. Satu-satunya keanehan adalah bahwa semua produk konsumsi di sini tampaknya tidak pernah kedaluwarsa.
Begitu seseorang meninggalkan tempat ini, mereka akan menyadari bahwa setiap barang yang dibawa dari toko lenyap tanpa jejak, seolah-olah hanya ilusi. Lebih dari itu, semua benda yang pernah bersentuhan dengan objek dari ruang Toko Kelontong juga akan menghilang—termasuk sepatu, tas, dan bahkan pakaian, meninggalkan pemiliknya dengan hanya tubuhnya sendiri. Tidak ada teori yang dapat menjelaskan fenomena ini secara pasti, mengingat satu-satunya akses keluar dari toko tetap tidak berubah. Para ahli berspekulasi bahwa sifat anomali dari benda-benda di dalamnya menular ke objek lain yang bersentuhan dengannya. Ada juga yang meyakini bahwa pintu keluar itulah yang menjadi katalis, menyebarkan anomali tersebut ke dunia luar.
Bertahan di dalam ruangan ini untuk waktu yang lama sangat tidak disarankan, mengingat risiko yang ditimbulkan oleh lokasinya di dalam The Broken. Karena akses yang terbatas, penelitian mengenai tempat ini masih minim. Selain itu, kurangnya perhatian dari organisasi-organisasi Backrooms, ditambah dengan keterbatasan sumber daya manusia yang mampu mengaksesnya, semakin menghambat upaya eksplorasi. Hanya satu individu yang dapat menghuni setiap manifestasi ruang ini, terlepas dari kapan atau dari mana mereka memasukinya. The Broken sendiri adalah entitas yang kompleks dan tidak berwujud, sehingga tidak ada jaminan bahwa lebih dari satu orang dapat mengakses ruangan ini pada waktu dan tempat yang sama.
Identifikasi ruang ini merupakan temuan terbaru, dilakukan pada akhir 1990-an. Akses ke dalamnya hanya mungkin pada periode tertentu, yang—sengaja atau tidak—selalu bertepatan dengan ketidakstabilan ekonomi, baik di Indonesia maupun secara global. Keberadaan Toko Kelontong pertama kali dilaporkan selama Krisis Moneter Asia (1997-1998), dan dapat diakses selama beberapa bulan sebelum akhirnya tertutup. Fenomena serupa terjadi selama gelembung dot-com di Amerika Serikat, meskipun dalam durasi yang lebih singkat, hanya beberapa minggu.
Atmosfernya mengingatkan pada ketinggian Puncak Jaya—udara tipis yang menyulitkan napas, seolah setiap helaan adalah ilusi kejayaan. Malam-malam seperti inilah yang dulu ku coba lupakan sebagai bocah, ketika dunia tak lebih dari congklak dan gundu. Saat mimpi buruk masih asing, dan jika pun datang, aku hanya perlu bersembunyi di bawah tempat tidur, berlindung di antara kotak mainan yang kujadikan perisai. Sekarang, mimpi buruk tersebut yang kegelapannya melingkari langit tanpa bulan bersinar sampai membuat derau statis tak terlihat. Ketika melihat keluasan dari daerah yang tak terjangkau itu, yang dapat dilihat hanya kehitaman. Hitam matte tanpa tekstur.
Kalau terpikir-pikir sih, masa lalu mencerminkan masa sekarang. Ruang ini seolah-olah mendorongmu untuk memasuki pintu minimarket dan bermandikan dalam cahaya putih LED, yang bagi banyak orang yang memasuki ruang ini, seperti orang-orang yang kelaparan yang tulang rusuknya membentuk badan mereka, seolah-olah cahaya dari gerbang surga. Kalau untuk aku, aku sekarang bukan orang seperti itu lah, tetapi masih ada pendorongan tersebut. Sebuah kekuatan yang ditanam di hati, yang berteriak “Masuk, masuk!” dan kegelapan berteriak dengan kelaparan dan perampasan yang serak. Tetapi jangkrik-jangkrik telah mendiam. Tidak ada suara yang datang dari situ, dan kemungkinan teriakan itu hanya halusinasi. Halusinasi yang membawa dosa, dan dosa itu dihukum dengan kejatuhan dalam kekosongan/kehitaman tersebut selama-lamanya.
Di toko kelontong ini, setiap tindakan adalah dosa. Bukankah di Backrooms, kita seharusnya mati dan dilupakan? Menjadi tengkorak busuk yang terlantar, atau daging yang dikunyah oleh entitas, direduksi menjadi pakan ternak mereka? Jika tidak, tubuh kita mungkin sekadar membusuk, menjadi jamur dan lumut yang menyebar ke sudut-sudut ruang lain. Bahkan bernapas pun dosa. Seharusnya, napas terakhir kita terjadi sebelum keluar dari Level 0. Jika itu saja sudah dosa, apalagi berjalan? Apa tujuanmu melangkah dalam toko kelontong ini? Untuk mengambil makanan ringan seperti keripik? Untuk membeli mainan yang mengingatkanmu pada masa lalu? Bukankah kenikmatan itu juga dosa, kenikmatan yang datang tanpa pencapaian? Mungkin bernapas bisa disebut pencapaian, tapi itu hanya ilusi. Dan tetap saja, itu dosa.
Aku melangkah menuju tempat kasir yang telah dikosongkan, kini digantikan oleh rak-rak berisi rokok. Kotaknya terasa sama seperti di dunia luar, lengkap dengan peringatan yang terpampang di permukaannya—seorang kakek tua dengan lubang sehitam langit di luar, mengingatkan bahwa itu bisa saja kakek siapa pun. Tapi kotak ini bersinar. Aku membukanya, melihat batang-batang putih familiar yang seolah memiliki kekuatan untuk melenyapkan semua kecemasan akan dosa. Sesuatu yang merasuk ke dalam otak, mengikis gangguan-gangguan seperti apa yang ruang ini lakukan terhadap jangkrik-jangkrik. Beberapa hisapan, dan aku merasa seperti telah berlari seumur hidupku dan baru sekarang bisa duduk. Tak lama kemudian, satu kotak habis. Aku beristirahat sejenak. Rokok biasanya membuatku lapar.
Aku berjalan ke lorong makanan ringan. Seolah-olah batasan toko ini menghilang, seolah ruangnya membentang tanpa akhir. Begitu luas hingga ada cakrawala di dalamnya. Aku mengambil sebungkus keripik dari salah satu rak—hanya satu dari stok yang tak akan pernah habis. Satu warna menghilang.
Aku membuka bungkusnya.
Di dalamnya, hanya ada hitam.
Kehitaman itu melahap segalanya.
Lorong-lorong lenyap.
Dinding ikut menghilang.
Di luar, tempat parkir melebar tanpa batas, membentang ke dalam kegelapan yang tak tersentuh.
Dan malam hari... menjadi malam selamanya.
Aku menatap tanganku. Kulit, daging, keberadaanku—semuanya telah larut.
Kini, aku hanyalah bayangan tanpa bentuk. Sebuah sosok hitam yang tak lagi memiliki dunia untuk berpijak.
The Grocery Store, known since 2025 as "Indonesia Gelap," is an interdimensional space accessible only through The Broken.
This space consists of a single building: a grocery store with a brand that differs for each individual. Surrounding it is a parking platform paved with interlocking bricks, resembling those found in the real world. Parking lines mark designated spots for vehicles, though none have ever been seen. Beyond the parking area lies nothing but the infinite emptiness known as The Void, trapping the store in a perpetual night. Falling into the Void is considered a point of no return. Under no circumstances should one leave the store—once fallen. The only way out is suicide.
Wanderers can enter only through the front door. The back door, which should be used by employees, is nowhere to be found—replaced instead by a solid concrete wall. The checkout area is vacant, occupied by rows of cigarette displays that dominate much of the store’s interior. Aside from this, the products on the shelves are indistinguishable from those found in an ordinary grocery store. Their packaging and appearance remain unchanged, and upon closer inspection—whether tasted or examined—there are no discernible differences in flavor or texture. The only anomaly is that all consumable products here never seem to expire.
Upon leaving the store, visitors will realize that any item taken from the premises vanishes without a trace, as if it had never existed. Furthermore, any object that has come into contact with items from The Grocery Store will also disappear—including shoes, bags, and even clothing—leaving the person with nothing but their bare body. No definitive theory explains this phenomenon, as the store’s only exit remains unchanged. Some speculate that the anomalous nature of the store’s objects transfers to anything they touch. Others believe the exit itself is responsible, spreading the anomaly beyond the store’s boundaries.
Remaining in this space for extended periods is strongly discouraged due to the risks posed by its existence within The Broken. Limited accessibility has left research on this space incomplete. Moreover, the indifference of Backrooms organizations and the scarcity of personnel capable of entering the store have further hindered exploration efforts. Only a single individual can occupy each manifestation of this space at any given time, regardless of when or where they enter. Given the abstract and nonphysical nature of The Broken, there is no guarantee that more than one person can access the store at the same moment or location.
The identification of this space is relatively recent, first documented in the late 1990s. It can only be accessed during specific periods, which—whether intentionally or not—always coincide with times of economic instability, both in Indonesia and globally. The first known appearance of The Grocery Store occurred during the Asian Financial Crisis (1997–1998), remaining accessible for several months before sealing itself. A similar phenomenon was recorded during the dot-com bubble in the United States, though its duration was significantly shorter—lasting only a few weeks.
The atmosphere was reminiscent of the heights of Puncak Jaya—thin air that made breathing difficult, as if every inhale was an illusion of triumph. Nights like these were the ones I had tried to forget as a child when the world was nothing more than congklak and marbles. When nightmares were still foreign, and if they did come, I only needed to hide under my bed, shielded by the toy boxes I had turned into my fortress.
Now, those nightmares encircled the sky, their darkness stretching so far that it became an invisible static hum. Staring into the vastness of that unreachable place, all that could be seen was blackness. A matte black without texture.
Come to think of it, the past reflects the present. This space almost seemed to push me toward the entrance of the convenience store, urging me to bathe in its white LED light. For many who entered this place—those with ribs forming the shape of their bodies from hunger—the glow was like the light of heaven’s gates. As for me, I wasn’t one of them. Not anymore. But even so, the pull remained. A force implanted in my heart, screaming, “Enter, enter!” while the darkness howled back with hunger and hoarse deprivation.
But the crickets had gone silent. No sound came from them, and perhaps the voices I heard were just hallucinations. Hallucinations that carried sin, and that sin was punished with an endless fall into the void.
In this grocery store, every action was a sin.
Isn’t death and oblivion the fate we deserve in the Backrooms? To rot away as a forgotten corpse, or to have our flesh chewed by entities, reduced to their livestock feed? If not, perhaps our bodies would simply decay, turning into fungi and moss that spread into the corners of other rooms. Even breathing is a sin. Our last breath should have already escaped before we left Level 0. If even that was a sin, what about walking?
What purpose do you have in stepping through this store? To take a bag of chips? To buy a toy that reminds you of the past? Isn’t pleasure itself a sin—pleasure gained without achievement? Perhaps breathing could be considered an achievement, but even that is just an illusion. And still, it is a sin.
I walked toward the vacant cashier counter, now replaced with shelves stacked with cigarettes. The boxes felt the same as they did in the outside world, complete with the warnings printed on them—a picture of an old man with a hole as black as the sky outside, reminding me that it could be anyone’s grandfather.
But these boxes glowed.
I opened one and found the familiar white sticks inside, carrying the promise of erasing all anxiety over sin. Something that seeps into the mind, stripping away disturbances, much like how this place had silenced the crickets.
A few drags, and it felt like I had been running my entire life and was only now allowed to sit down.
Before long, the entire pack was empty. I rested for a moment. Smoking usually made me hungry.
I walked toward the snack aisle. Somehow, the store’s boundaries seemed to vanish, stretching into infinity. So vast that there was even a horizon within it. I picked up a bag of chips from one of the shelves—just one out of an endless stock. One color faded from existence.
I opened the bag.
Inside, there was only black.
The darkness devoured everything.
The aisles disappeared.
The walls vanished.
Outside, the parking lot expanded endlessly, stretching into the untouched abyss.
And the night… became night forever.
I looked at my hands. My skin, my flesh, my very being—everything had dissolved.
Now, I was nothing more than a shadow without form.
A black figure with no world left to stand on.
| Canons | Winter's Butterfly |
|---|---|
| Levels | Megalophobia │ A Child's Abnormality │ White Torture │ Roads to Abyss │ Haphazard Remnants │ Saturation │ Terror Basins │ Innocent Ball Pit │ Day Zero │ Vitrum Madness │ The Last Snow │ The Unit │ Antiquated Perpetuity │ Indigence │ Niagara of Iron(ic) Fists: The Contra-Pulp Fiction Theme, Vol. I & Vol. II │ Ain't All Blood Red │ Pipe Dreams │ The Worm in the Fruit │ Vienesse Sunday │ Old Mister Staircase │ Thalassophobia │ Toko Kelontong
|
| Entities | Mandela Disease │ The Death Locomotive │ Rainbows │ Count the Stars! │ The Thing on Level 7 |
| Tales | The Temporal Yellow │ The Ladybug Heart of a Génocidaire |
| Joke | Em Dash Island │ Meggies |